Tuesday, December 15, 2009

Asal Usul kaum Bunian

Tidak bisa dipungkiri kemunculan Kaum Bunian sedikit banyak memberi perasaan takut dalam diri manusia. Meski mereka sebenarnya tidak mengganggu. Kemunculannya kerap membuat bulu kuduk merinding. Maklum, perbedaan alam mereka telah membuat semacam jurang pemisah. Padahal, bila ditelusuri, asal usul kaum Bunian ini adalah manusia juga. Keberadaan mereka sangat erat hubungannya dengan kerabat Keraton Sambas. Siapakah sebenarnya kaum Bunian ini ?

Tahun 1757 M, Kerajaan Islam Sambas berada di puncak kejayaan. Raden Djamak yang bergelar Sultan Oemar Aqqamaddin (II), naik tahta. Ia mengantikan ayahanda Sulta Abubakar Kamaluddin, keturunan Sultan Hasan Ibnu Syaiful Rizal. Keraton Sambas kerap pula disebut istana Alwaat Zik Hubbillah. Keraton ini terletak di muara Ulakan yang menghadap persimpangan tiga cabang anak sungai, yakni Sungai Sambas, Sungai Teberau dan Sungai Subah.

Diujung utara berlatar belakang Gunung Senuju yang melengkung hijau, sementara di sebelah timur berderet bukit barisan yang dinamakan Pegunungan Sebedang. Di muara Sungai Sambas selatan diapit dua gunung, yaitu Gunung Gajah dan Gunung Kalangbau. Karena kondisi geografis itulah, negeri Sambas menjadi terkenal. Negeri itu aman dan makmur dengan julukan “negeri laksana kembang setaman”.

Keraton Sambas didirikan oleh Raden Sulaiman yagn bergelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I di Tanjung Muara Ulakan Lubuk Madung, tahun 1687 Miladiyah. Atau bertepatan dengan tahun 1680 Hijriah. Raden Sulaeman adalah putra dari Giri Mustika, Raja Tengah, yang menikah dengan putri Surya Kencana, adik raja Panembahan yang memerintah Kerajaan Tanjungpura. Perkawinan itu terjadi karena kapal yagn ditumpangi Raja Tengah dihantam badai di sekitar Pulau Tanjung Datuk. Kejadiannya saat ia pulang dari Keraton Johor menuju Sarawak.

Tanjung Datuk sendiri terkenal angker. Menurut cerita, Tanjuk Datuk atau Paloh itu adalah pusat pemerintahan orang-orang Bunian. Kerajaan Sambas Tua terletak di Kota Lama dan berada di wilayah Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Ratu Sepudak, yang merupakan pendiri kerajaan kecil itu pada jaman sebelum masuknya pengaruh Islam ke Sambas.

Menurut beberapa sumber, kerajaan kecil di Paloh pada mulanya dipimpin oleh Pangeran Prabu Kencana yang bergelar Ratu Anom Kesuma Yoeda. Lengsernya beliau dari tahta pemerintahan karena pemberontakan yang dilakukan oleh anak angkatnya yagn berasal dari negeri Bunian bernama Tan Nunggal. Dan menurut cerita dari mulut ke mulut di kalangan kerabat istana, yagn saat ini memerintah di Kerajaan Bunian adalah keturunan raja sambas bernama Raden Sandi. Raden Sandi dinyatakan menghilang dari kerajaan, karena diambil kaum Bunian.

Menurut Hasan (65), kuncen Keraton Sambas, yagn juga masih keturunan Pangeran Bendahara, putra Sultan Moehammad Tsafiuddin II, menolak jika raibnya sang pangeran karena diambil untuk dijadikan raja di Kerajaan Bunian. “Itu tidak benar. Tidak ada orang Bunian yang mengambil Raden Sandi. Beliau Raib karena kehendak Allah semata,” tuturnya.

Raden Sandi Braja, kata Hasan, adalah salah satu putra raja Sambas Sultan Moehammad Tsafioeddin II. Ia termasuk sosok yang jenius dan mampu menyelesaikan sekolah sekolah sebelum waktunya. Tanggal 8 Desember 1890, ia melanjutkan sekolah ke tanah Jawa diantar Menteri Pangeran Tjakranegara Pandji Anom. Keberangkatannya bersamaan dengan diasingkannya sang ayahanda ke tempat pembuagnan oleh Penjajah Belanda.

Raden Sandi dan saudaranya Raden Mohammad diserahkan kepada Tuan Bestantjesdijk, direktur Opleideing School di Bandung. Dan, lima tahun kemudian keduanya kembali setelah berhasil menyeelsaikan pelajarannya dengan baik. Seusai itu ia langsung diangkat menjadi putra mahkota, namun belum sempat menduduki tahta, beliau meninggal dunia.

Ada beberapa versi soal kematian Raden Sandi Braja. Konon, sang pangeran muda jatuh cinta pada seorang gadis dalam lingkungan istana. Sayangnya, hubungan itu tidak direstui Datu Sultan. Maklum, sang gadis ternyata masih saudara sendiri. Ini sangat dipantangkan di keraton.

Sebenarnya, sang pangeran mdua itu telah dijodohkan dengan gadis yagn berasal dari Negeri Titis Sepancuran, Brunai Darussalam. Karena memang begitulah pesan leluhur memerintahkan. Tapi ia tetap saja menolak, sampai akhirnya mengambil jalan tengah. Dengan lapang dada ia menerima saran dari ibundanya. Sarannay, jika tetap menolak untuk dijodohkan dengna puteri dari Brunai, maka ia diperbolehkan mencari puteri dari negeri lain, asalkan bukan dengan saudara sepupu sendiri. Maka berangkatlah Raden Sandi ke negeri Johor.

Tapi, baru beberapa bulan di sana, ia mendapat kabar bahwa kekasihnya telah dinikahkan dengna seorang lelaki asal negeri Siak. Mendengar kabar tidak sedap itu, Raden Sandi langsung membatalkan perantauannya. Ia pulang ke Sambas untuk membuktikan kebenaran kabar iut. Dan, kenyataannya telah membuatnya sakit hati. Ia tak menyangka ayahandanya sampai hati memtuuskan hubungan mereka. Maka tanpa pikir panjang lagi, Raden Sandi melampiaskan amarahnya. Ia mengamuk dan tak seorang pun mampu menahan kehebatannya.

Usai melampiaskan kemarahannya, ia bersumpah tak akan menduduki tahta kerajaan dan akan meninggalkan Sambas selama-lamanya. Agaknya, takdir berkehendak lain. Belum sempat Raden Sandi meninggalkan istana Sambas, ia terserang penyakit yang tak ada obatnya. Penyakit itu akhirnya merenggut jiwanya. Namun sebuah keajaiban terjadi.
Sesaat setelah mengembuskan nafas, tubuh Raden Sandi hilang entah ke mana. Yang tinggal hanyalah batang pisang. Raden Sandi hilang secara misterius.

Menurut sebagian kawula istana, jenazah putra mahkota itu lenyap misterius dan digandi batang pisang. Tapi banyak pula yagn mengatakan bila ia mati diambil oleh orang Bunian di Paloh. Konon, itu sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan Putri Kibanaran (Orang Bunian) yagn tewas saat Raden Sandi berburu di hutan Paloh. Orang pintar dari keraton menyatakan bahwa Raden Sandi Braja telah menjadi raja di Negeri Kibanaran.

Belakangan, ada beberapa sumber yang menyebut bahwa dulu pernah ada pengusaha dari Singapura yagn pergi ke Bandar Paloh dan berjumpa dengan Raden Sandi. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa suasana di Bandar Paloh sangat ramai dan sibuk, laksana pelabuhan laut sebuah negara besar. Transaksi dagang dengan Raden Sandi pun berlangsung. Tapi apa yang terjadi.

Saat sang pengusaha yang bernama Taib bin Djasman membuka map transaksi di depan rekannya dari Jakarta, kertas berharga itu hanyalah selembar daun sirih yang sudah layu. Dengan penasaran sang pengusaha itu kembali ke Bandar Paloh. Tapi, yang didapat di sana berbeda. Yang dia lihat sekarang hanyalah sebuah desa dan pasar kecil di pinggir sungai kecil. Sebagian kawasan masih ditumbuhi hutan lebat. ***

Kehidupan Kaum Bunian Sambas

Cerita tentang kehidupan bangsa lelembut ini bukan isapan jempol. Masyarakat Kalimantan Barat amat yakin kaum Bunian adalah realita. Seringkali makhluk halus itu membaur dengan manusia, meski tak disadari kehadirannya. Pada saat-saat tertentu, kerap orang melihat kaum Bunian berada di tengah keramaian. Sang lelembut tampak layaknya manusia biasa. Hanya saja, sebuah ciri fisik tak bisa menutupi mereka. Di wajah mereka tak ada garis antara hidung dengan bibir atas. Alisnya juga menyatu. Parasnya memang aneh dan berkesan menyeramkan.

Ada satu hal yang tidak boleh dilakukan manusia bila berada dekat dengan kaum Bunian: jangan sekali-kali mengikuti ajakannya. Bila itu dilakukan, maka ia akan masuk ke alam gaib mereka dan tidak akan bisa kembali. Pusat komunitas kaum Bunian terletak di sekitar Pantai Selimpai, Kecamatan Paloh. Juga terdapat di seputar Tanjung Batu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Tatanan kehidupan kaum Bunian amat teratur. Itu karena mereka di kelola oleh sistem kerajaan yang tertib. Mereka pun bukan tipe makhluk pengganggu yang suka
meneror manusia. Bahkan sebaliknya, sekali waktu mereka terlihat membaur dengan manusia untuk memberi bantuan.

Kasus perang etnis di Sambas beberapa waktu lalu, konon juga melibatkan kaum Bunian ini. Raja mereka sengaja mengerahkan pasukan Bunian untuk menghalau etnis tertentu yang dianggap mengganggu ketenteraman hidup etnis pribumi. Namun tetap saja perbedaan alam dengan mereka menyebabkan manusia takut.

Pendeknya, kehidupan kaum Bunian bukan sekadar cerita. Tapi benar-benar nyata. Bila ingin menemui kaum Bunian, datanglah ke pusat komunitas mereka di sekitar Pantai Selimpai atau Tanjung Batu. Tentu saja, tidak begitu saja seseorang bisa berhubungan langsung dengan bangsa lelembut ini. Melainkan harus dengan bantuan orang yang menjadi perantara.

Di kedua pantai tersebut, selalu ada orang yang bisa menjadi perantara dengan orang-orang dari bangsa Bunian. Menurut Hendra Sukmana, aktivis LSM yang kini menjabat Ketua Panwaslu Kota Singkawang, tanpa perantara, tak mungkin orang biasa bisa bertemu langsung dengan kaum Bunian. Hanya orang yang punya kemampuan khususlah yang bisa berinteraksi langsung dengan mereka. Tanpa memiliki kemampuan semacam itu, maka orang-orang hanya bisa melihat pantai ini sebagai objek wisata yang indah saja. Tidak lebih dari itu.

Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, bisa saja orang biasa berjumpa dengna kaum Bunian. “Sewaktu-waktu orang biasa pun sering berjumpa dengan kaum Bunian yang tengah berada di sekitar mereka. Seperti di pasar-pasar rakyat, di dalam mobil angkutan umum, di pinggir sungai, bahkan di supermarket,” tuturnya kepada penulis.

Nah, ketika itu, terang Hendra, jangan sekali-kali berbuat ceroboh. Misalnya, sok akrab dengan sengaja menyapa mereka. Se¬bab bila tidak memiliki bekal batin yang kuat, kita bisa terpengaruh oleh ajakan mereka. Apalagi bila kaum Bunian yang menampakkan diri itu adalah kaum hawa. “Jika tidak ku¬at iman, kita bisa terpikat. Kalau itu terjadi, maka kita tidak akan bisa kembali ke dunia manusia lagi,” ujar Hendra.

“Diculik” Kaum Bunian

Bila orang kedatangan kaum Bunian, dipastikan bakal dicekam rasa takut. Kemunculannya memang kerap membuat bulu kuduk merinding. Wajar saja, siapa yang tidak takut bila di datangi mahluk halus. Apalagi selama ini berkembang anggapan bila kaum Bunian selalu membawa manusia ke dunianya. Cerita-cerita bangsa manusia sering dibawa ke alam kaum Bunian ini sudah sering terdengar.

Misalnya satu kejadian pada paruh akhir tahun 1995 di daerah Sejangkung, Sambas. Ketika itu ada anak kecil kelas 2 SD yang tidak kembali ke rumah setelah pulang sekolah. Sementara teman-teman lainnya sudah sampai di rumah. Maka keluarga si anak ini pun cemas. Mereka mencari-cari si anak ke rumah neneknya, namun tidak ditemukan. Begitu juga ditanyakan kepada teman-temannya, mereka tidak tahu.

Hingga akhimya, orang tua si anak menghubungi orang pintar di daerah itu. Setelah melalui deteksi batin, orang pintar ini mengatakan bila si anak dalam keadaan selamat. Cuma, saat ini ia tengah berada di tengah lingkungan kaum Bunian. Keterangan itu sedikit banyaknya bisa diterima keluarga. Sebab ketika ditanyakan kepada salah seorang temannya, ia mengatakan bila setelah pulang sekolah, anak ini diajak pergi beberapa anak kecil yang tidak dikenal. Orang pintar ini pun lantas menyimpulkan bila yang mengajak si anak hilang ini adalah anak-anak kaum Bunian.

Mendapat keterangan demikian, orang tua si anak amat cemas. Mereka dihinggapi pikiran negatif jika si anak tak akan bisa kembali lagi ke dunia manusia. Orang pin¬tar yang dimintai bantuan ini malah tersenyum. Ia lalu pamit untuk melakukan sesuatu. Nah, ketika hari mulai senja, tiba-tiba tiupan angin kencang menghantam rupa orang tua si anak hilang.

Peristiwa itu dirasakan betul oleh seluruh penghuni rutnah. Mereka pun dicekam ketakutan luar biasa. Sebab kejadian itu sangat tidak lazim. Di tengah-tengah suasana mencekam itu, tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang. Saat dibuka, ternyata si anak hilang itu sudah berdiri di depan pintu. Orang tua keluarga itu pun merasa senang karena anaknya telah kembali.

Ketika ditanya kemana saja dia pergi, dengan polos anak ini mengatakan bila ia pergi bersama teman-teman barunya naik perahu besar. Lalu dia di bawa berlayar entah ke mana. Meski semuanya orang-orang asing, tapi si anak ini merasa senang. Sebab selain bersama teman-teman baru, dia juga bisa bermain bersama. Menurut si anak, setelah puas bermain, perahu besar itu kembali merapat. Dia kemudian diantar teman-temannya pulang ke runah. Belakangan, teman-temannya itu tiada lain adalah kaum Bunian.

Dibawa ke Alam Gaib

Meski ada yang kembali ke dunia manusia setelah berhubungan dengan kaum Bunian, ternyata banyak pula yang tidak kembali alias terbawa ke alam gaib. Hal itu, bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, memang sudah dikehendaki manusianya sendiri untuk bergabung dengan dunia Bunian. Ini terjadi bila, umpamanya, seorang pria jatuh hati dengan wanita dari bangsa lelembut itu. Selanjutnya orang ini ingin berhubungan terus hingga kepelaminan. Tentu saja, orang ini tidak akan kembali ke alam nyata.

Sebab kedua, seseorang tergiur oleh ajakan kaum Bunian. Inilah yanag selalu diwanti wanti setiap orang agar berhati-hati dan jangan mudah tergiur ajakan mereka. Ada satu peristiwa di tahun 1990-an. Dulu, pernah ada seorang pemuda bernama Mahyan. Ia dinyatakan hilang. Semula, orang-orang desa mengira dia pergi ke Pulau Tambelan untuk bekerja di bagan, tempat mencari ikan. Namun, pakaiannya di lemari masih utuh. Itu menandakan bila Mahyan tidak pergi kemana-mana, atau pergi tanpa pamit.

Menurut cerita teman-temannya, tadi malam Mahyan berkenalan dengan seorang wanita. Kebetulan sejak beberapa hari lalu, ada pekan hiburan rakyat di depan kantor kecamatan. Nah, sejak berkenalan itu teman-temannya tidak melihat lagi batang hidung Mahyan. Sampai keesokan harinya, Mahyan tidak kembali. Bahkan hingga berhari-hari, minggu, bulan dan tahun. Seterusnya, Mahyan tak diketahui lagi dimana rimbanya. Orang-orang di kampung berkeyakinan bila Mahyan hilang karena di bawah ke alam kaum kaum Bunian.

Ciri Kaum Bunian

Fenomena kaum Bunian sudah mendarah daging dalam masyarakat Sambas. Meski kerap muncul rasa takut bila didekati kaum Bunian, namun masyarakat di sana sudah terbiasa. Malah boleh dikata, mereka tak merasakan lagi adanya persoalan. Meski begitu, membicarakan soal Bunian bagi mereka, adalah tabu. Mereka lebih memilih diam dari pada bercerita kaum Bunian. Atau kalaupun menceritakannya, tapi secara bisik bisik. Seolah-olah takut nada bicaranya didengar orang lain, terutama kaum Bunian.

Bila tiba-tiba mereka merasakan kedatangan kaum Bunian, orang-orang Sambas lazim mengatakan, "Oh, insanak datang!" Setelah itu secara tak diam-diam dia akan menjauhi orang Bunian itu. Bisakah kaum Bunian ini dibedakan dengan manusia biasa? Tentu saja bisa. Bahkan perbedaannya amat menyolok. Rudi Fitrianto (38), warga Kota Singkawang, mengatakan bila perbedaan itu tampak pada penampilan fisik.

Misalnya pada bagian wajah. Kaum Bunian dikenal tidak memiliki garis atau tepatnya lekukan yang memanjang antara hidung den¬gan bibir atas. "Itu adalah ciri kodrati kaum Bunian,” tutumya. Inilah ciri fisik yang sangat jelas membedakan kaum Bunian dengan manusia. “Kalau kita melihat seseorang yang tidak memiliki garis bibir itu, maka dipastikan orang itu adalah kaum Bunian,” tuturnya lagi.

Ciri lainnya, kaum Bunian memiliki bentuk alis yang khas. Alisnya lebat dan tampak seperti menyatu. Ciri seperti ini, boleh jadi terdapat pada sebagian kecil manusia. Selebihnya, bentuk fisik kaum Bunian dengan manusia nyaris sama. Misalnya soal tinggi badan. Karena itu, bila berpapasan secara sepintas, nyaris seseorang tak dapat membedakan dia adalah Kaum Bunian atau manusia. Selebihnya, terang Rudi, wujud kaum Bunian memang halus. Sehingga banyak orang menyebutnya makhluk halus atau lelembut.

Meski mereka mahluk halus yang terkadang menampakkan diri, ada orang-orang tertentu yang bisa melihat kaum Bunian dalam keadaan secara kasat mata. Mereka adalah orang-orang tua dan anak-anak kecil, meski tidak semuanya. Beberapa tahun lalu, ketika pecah perang etnis di Sambas, banyak anak-anak kecil yang sering duduk dipinggir sungai Sambas. Ketika ditanya mengapa duduk-duduk di situ, mereka menjawab sedang melihat kapal besar yang mengangkut banyak orang. Kapal itu terlihat menuju Keraton Sambas.

Kebenaran cerita anak-anak itu diperkuat kenyataan bila di halaman Keraton Sambas, secara tiba-tiba berkibar bendera wama kuning. Itulah bendera khas Kerajaan Sambas tempo dulu, yang sejak lama tidak pernah dikibarkan. Keadaan itu memberikan sinyal bila bangsa Bunian tengah berkumpul di sekitar Keraton Sambas. Hanya saja wujud mereka tidak terlihat. Dan pada malam harinya, warga Sambas melihat kotanya sangat ramai sekali. Namun mereka sama sekali tidak mengenal orang-orang itu datang dari mana. ***

SEJARAH MEMPAWAH

TIGA PUSAKA KERATON HILANG MISTERIUS


Pada zaman dahulu,dikisahkan pemerintahan Senggaok memiliki tiga pusaka keraton,yang konon menurut cerita hilang secara ghaib,pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Syafiuddin.
Adapun keris pusaka tersebut bernama keris Naga Api (Naga Geni),dari Raja susuhan anaknya Prabu Brawijaya,dari kerajaan MajaPahit.
Keris tersebut milik Panembahan Senggaok,yang merupakan keturunan dari Prabu Brawijaya.

Menurut cerita,Raja Susuhan dari Majapahit yang membawa keris Naga api ke Bengkule Rajang,bersama seperangkat gamelan senenan dan meriam yang bernama Bujang Jawa.
Naga geni dan Bujang Jawa,lenyap secara misterius,pada zaman Sultan Ibrahim Syafiuddin,konon,katanya kedua pusaka tersebut hilang,tatkala didalam istana terjadi kebakaran.

Menurut cerita turun temurun,saat api masih berkobar membakar istana,keris Naga geni melayang diudara,menembus tiang istana yang tidak dijilat api,ketika menembus tiang gagangnya tercabut dan tertinggal dilantai istana.
Hilangnya Meriam Bujang Jawa,baru diketahui setelah kobaran api yang membakar istana dapat dipadamkan.kedua pusaka dinyatakan hilang secara ghaib,dan sampai sekarang tidak diketahui dimana rimbanya.

Sedangkan pusaka ketiga yang hilang secara misterius,berupa sebilah pedang dari Pagar Ruyung ,pedang ini hilang saat penjajah Jepang menjejakan kaki dibumi Mempawah.
Pedang Pagar Ruyung merupakan warisan Raja Qahar,mertua Panembahan Senggaok.
Sangat disayangkan hilangnya artefak tersebut yang merupakan bukti kaitan sejarah,antara kerajaa di Jawa,Melayu,Dayak,dan Bugis.pusaka yang hilang tersebut merupakan bukti nyata kesatuan empat suku yang telah membaur sejak ratusan tahun yang lalu…

SAMBAS DISERANG SIAK SRI INDRAPURA 1789-1791

PANGERAN ANOM MEMPERTAHANKAN SAMBAS

Serangan Pertama Siak Sri Indra Pura Ke Sambas 1789

Tiada lama pangeran Anom di Sambas,pada bulan Desember tahun 1789 Kesultanan Sambas diserang pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Raja Ismail..
Penyerangan dari Siak ini adalah karena persaingan dagang dan ekonomi diantara kedua Kesultanan,salin berebut kekuasaan dilaut serta berusaha menguasai wilayah antara pulau Sumatra dan Kalimantan.Armada Siak Sri Indrapura bergerak maju disekitar perairan Sungai Sambas kecil menembakan meriam kearah pasukan dari kesultanan Sambas...
Ketika pasukan Siak Sri indera pura hendak mendarat maka pasukan Sambas berenang mendekati kapal musuh dan membocorkan kapal mereka hingga tenggelam,diiringi pula dengan tembakan meriam dari halaman istana,hampir menjelang malam pertempuran antara kedua pasukan semakin sengit,banyak korban berjatuhan dikedua belah pihak.
Namun lagi lagi strategi dan kepiawaian pasukan Sambas yang dipimpin Pangeran Anom dapat memukul mundur pasukan dari Siak Sri Indrapura,sebagian kapal mereka ditenggelamkan dan sebagian berhasil meloloskan diri dan keluar dari perairan Sambas.

Serangan Kedua Siak Sri Indrapura Ke Sambas

Pada tahun 1791 pasukan Siak Sri Indrapura menyerang kembali untuk kedua kalinya dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar dan dipimpin langsung oleh Sultan Ali Said sendiri…Pertempuran berlangsung cukup lama,pasukan Siak Sri Indrapura menyerang dengan keberanian yang luar biasa tanpa memperhitungkan korbanya yang gugur dimedan laga.pertahanan pasukan kerajaan Sambas sudah goyah karena serangan bertubi tubi dari pasukan Siak Sri Indrapura yang gagah berani.

Memperhatikan keadaan yang sangat genting itu beberapa orang menteri Kerajaan Sambas,Wazir serta Hulubalang berunding dengan Sultan Abubakar Tajudin I dan Pangeran Anom supaya diadakan perundingan damai dengan sultan Said Ali dari Siak Sri Indrapura…usul tersebut ditolak oleh Sultan dan Pangeran Anom,karena Pangeran Anom merasa yakin atas kekuatan pasukanya.
Maka diperintahkanlah oleh Pangeran Anom kepada beberapa pengawal setianya untuk menjemput pasukan mereka yang lain yang terdiri dari orang orang Dayak Sungkung,dan orang orang Dayak Saribas..maka tak beberapa lama pasukan bala bantuan Pangeran Anom telah terkumpul dan dengan pasukan tersebut Pangeran Anom berhasil memukul mundur pasukan dari Siak Sri Indrapura…

Tapi rupanya Pasukan Siak Sri Indrapura tidak kembali kenegerinya mereka bertahan dilaut menunggu bala bantuan tiba dari garis belakang,mereka menghimpun kekuatan baru untuk menyerang Sambas.

Serangan Ketiga Siak Sri Inrdapura Ke Sambas 1792

Pada tahun 1792 pasukan Siak Sri Indrapura menambah dan memperkuat pasukanya yang ada diperairan Sambas,dipimpin Sayyid Ali Mustafa dan didampingi oleh seorang panglima dari Aceh yang terkenal keberanianya bernama Panglima Aru…Aru adalah nama dari suatu kampung di daerah Aceh,dalam penyerangan itu ikut serta juga permaisuri Sayyid Ali Mustafa yang sakti dan gagah berani…

Pucuk pimpinan perang pasukan Sambas dipegang oleh Pangeran Anom dan didampingi oleh Panglima Awang Tandi (Lawang Tandi) yang khusus dijemput dari tempat pertapaanya dikeramat Bantilan (letaknaya sekarang dalam wilayah kecamatan Sejangkung).

Pertempuran antar pasukan Sambas dan pasukan Siak Sri Indrapura disertai adu kekuatan dan ketangkasan antara panglima Aru dengan Panglima Awang Tandi.pertarungan yang memakan waktu cukup lama ,mereka beradu kesaktian dan kekuatan,namun kesaktian yang dimiliki Awang Tandi tak dapat ditandingi oleh Panglima Aru,Awang Tandi berhasil mengalahkan Panglima haru hingga ia tewas..,melihat kejadian tersebut Permaisuri Sayyid Ali Mustafa menjadi geram dengan tangkas ia turun kemedan perang (dihalaman istana Sambas) ibarat seekor singa yang haus darah ia membunuh prajurit dan panglima pasukan Sambas satu persatu hingga parajurit Sambas kelabakan dan menjadi kocar kacir,siapa saja yang berada didepan atau dibelakangnya langsung dibunuh dan dipenggalnya,melihat keadaan yang mencemaskan itu,Pangeran Anom segera terjun kemedan pertempura menahan gerak maju pasukan musuh dan diperintahkanya kepada Panglima Awang Tandi untuk menyerang langsung tubuh permaisuri tersebut,namun penyerangan sulit dilakukan karena permaisuri Kebal terhadap senjata tajam dan dia diapit oleh pasukanya yang berlapis lapis,...
Untuk menghentikan dan mengatasi ketangkasan serta keberanian dan kesaktian permaisuri Sayyid Ali Mustafa tersebut,Pangeran Anom segera memasukan “Peluru Petunang” kedalam Meriam..,sambil mengucapkan Mantra diarahkanya meriam tersebut tepat kepada tubuh permaisuri Sayyid Mustafa,dan dengan tembakan “Peluru Petunang” tersebut tubuh permaisuri yang kebal terhadap senjata tajam tersebut roboh seketika,tubuhnya bersimbah darah dan seketika itu pula ia gugur dimedan laga…(Peluru Petunang : adalah peluru yang didalamnya berisi jisim halus atau sahabat “Mu’akal” Pangeran Anom yang bernama”Bujang Danor”),cerita ini telah menjadi cerita rakyat masyarakat Sambas sampai sekarang..

Melihat kejadian itu Raja Sayid Ali dan Sayid Mustafa beserta pasukanya dengan rasa kesal dan sedih memutuskan mundur dari pertempuran dan kembali kenegerinya.Sebagian dari panglima panglimanya yang menyerah kepada pasukan Sambas dan bersedia setia menjadi penduduk Negeri Sambas diberikan tempat oleh Sultan Abubakar Tajudin I sebuah kampung yang diberi nama “Kampung Tanjung Rengas” untuk kediaman orang orang dari Zulu disediakan suatu kampung yang diberi nama “Kampung Nagur”, dan untuk kediaman orang orang dari Sulawesi disedikan suatu kampung yang diberi nama”Kampung Bugis”.

Sultan Sambas dan rakyatnya selalu membuka pintu selebar lebarnya menerima pendatang baru dari seluruh pelosok Nusantara ,sehingga turun temurun tinggal diSambas.
Sampai sekarang.Rakyat Sambas merasa bangga mempunyai seorang Panglima seperti yang telah dicontohkan Pangeran Anom dalam mempertahankan negeri dan rakyatnya dari gangguan orang orang Portugis,Spanyol,Inggris,Belanda dan kerajaan kerajaan lain di Nusantara…

Catatan: Keruis adalah perahu layer Pangeran Anom…Fenes sebuah perahu layer ukuran kecil atau lebih kecil dari Keruis..menurut dugaan Keruis dan Fenes berasal dari bahasa Portugis atau Spanyol..

Friday, December 11, 2009

Biografi Syaikh Ahmad Khatib Sambas

Nama Lengkapnya adalah Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaiffar al­Sambasi al-Jawi (baca: Indonesia). la di lahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat (Borneo) pada 1217 H/1802 M. Setelah mendapatkan pendidikan agama di kampung halamannya, ia tinggal di Mekkah pada usia 19 untuk memperdalam ilmu agama clan menetap di sana selama quartal kedua abad 21. Ia menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya pada tahun 1289 H/1872 M. Di sana ia belajar sejumlah ilmu pengetahuan agama, termasuk sufisme. Dan ia pun herhasil mendapatkan kedudukan terhormat di antara teman-teman sezamannya hingga akhirnya ajarannya berpengaruh kuat hingga sampai ke Indonesia.

Diantara guru-gurunya antara lain ; Syaikh Daud ibn Abdullah ibn Idris al­Fatani (w. 1843), seorang ulama besar yang menetap di Mekkah, Syeikh Samsuddin, syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812). Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa beliau juga murid dari Syeikh Abd Samad al-Palembangi (w. 1800). Seluruh murid-murid Syeikh Syamsuddin memberikan penghargaan yang tinggi atas Kompetensinya serta menobatkannya sebagai Syeikh Mursyid Kamil Mukammil.

Selain yang disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah nama yang juga menjadi guru-guru Khatib Sambas, seperti Syaikh Muhammad Salih Rays, seorang mufti bermadzhab Syafi’i, Syeikh Umar bin Abd al-Rasul al-Attar, juga mufti bermadzhab Syafi’I (w. 1249 H/833/4 M), dan Syeikh ‘Abd al-Hafiz ‘Ajami (w. 1235 H/1819/20 M). ia juga menghadiri pelajaran yang diberikan oleh Syeikh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Marzuki, seorang mufti bermadzhab Maliki, Abd Allah (Ibnu Muhammad) al-Mirghani (w 1273 H/1856/7 M), seorang mufti bermadzhab Hanafi serta Usman ibn Hasan al-Dimyati (w 1849 M).

Dari informasi ini dapat dikctahui bahwa Syeikh Khatib Sambas telah mendalami kajian Fiqh yang dipelajarinya dari guru-guru yang representatif dari tiga madzhab besar Fiqh. Sementara, al-Attar, al-Ajami dan al-Rays juga tiga ulama yang terdaftar sebagai guru-guru sezaman Khatib Sambas, Muhammad ibnu Sanusi (w. 1859 M), pendiri tarekat Sanusiyah. Baik Muhammad Usaman al-Mirghani (pendiri tarekat Khatmiyah yang sekaligus saudara Syeikh ‘Abd Allah al-Mirghani) maupun Ahmad Khatib Sambas, keduanya juga anggota dari sejumlah tarekat yang kemudian ajaran-ajaran taraket tersebut digabungkan mcnjadi tarekat tersendiri. Dalam kasus tarekat Khatmiyah, tarekat ini penggabungan dari tarekat Naqsabandiyya, Qadiriyya, Chistiyah, Kubrawiyah dan Suhrawardiyah. Sementara dalam catatan pinggir kitab Fath al-’Ariin dinyatakan bahwa sejumlah unsur tarekat penulis kitab tersebut adalah Naqsabandiyya, Qadiriyya, al-Anfas, al-Junaid, Tarekat al-Muwafaqa serta, sebagaimana yang disebutkan sejumlah sumber, tarekat Samman juga menggabungkan seluruh aliran tarekat di atas.

Kelenturan ajaran Qadiriyya bisa disebut sebagai faktor yang memotivasi Syeikh Sambas untuk mendirikan taerkat Qadiriyya wa Naqsabandiyya. Tentu saja, dalam tradisi sufi memodifikasi ajaran tarekat bukanlah hal yang tidak biasa dilakukan. Misalnya, terdapat 29 aliran tarekat yang merupakan cabang dari tarekat Qadiriyya. Sebenarnya bisa saja Syeikh Khatib Sumbas menamakan tarekat yang didirikannya dengan Tarekat al-Sambasiyah atau al-Khaitibiyah sebagaimana kebanyakan aliran tokoh tainnya yang biasanya menamakan tarekat dengan nama pendirinya, namun Khatib Sambas justru mcmilih menamakan tarekatnya dengan Qadiriyya wa Naqsabandiyya. Disini ia lebih menekankan aspek dua aliran arekat yang dipadukannya dan lebih jauh menunjukkan bahwa tarekat yang didirikannya benar-benar asli (original).

Sementara itu, kebanyakan murid-murid Ahmad Khatib Sambas berasal dari tanah Jawa dan Madura dan merekalah yang meneruskan larekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya ketika pulang ke Indonesia. Diantara murid-muridnya tersebut adalah ‘Abd al-Karim (Banten), Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad (Madura), Muhammad Isma’il ibn Abdurrahim (Bali), ‘Abd al-Lathif bin ‘Abd al-Qadir al­Sarawaki (Serawak), Syeikh Yasin (Kedah), Syeikh Nuruddin (Filipina), Syeikh Nur al-Din (Sambas), Syeikh ‘Abd Allah Mubarak bin Nur Muhamcnad (Tasikmalaya). Dari murid-muridnya inilah kelak ajaran tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya sampai dan menyebar luas ke pelosok Nusantara.

AJARAN SYYAIKH AHMAD KHATIB SAMBAS

Menurut Naguib al-Attas, Syeikh Sambas merupakan seorang Syeikh dari dua tarekat yang berbeda, tarekat Qadiriyva dan Naqsabandiyya. Karena ia sebenarnya tidak mengajarkan kedua Tarekat ini secara terpisah akan tetapi mengkombinasikan kedua ajaran tarekat tersebut sehingga dikenali sebagai aliran tarekat baru yang berrbeda baik dengan Qadiriyya maupun Naqsabandiyya. Dalam prosedur dzikir, Syeikh Sambas mengenalkan Dzikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafy wa al-Ithbat) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyya. Selain itu, ia juga rnelakukan sedikit perubahan dari praktek Qadiriyya pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqsabandiyya tentang lima Lathaif. Sedangkan pengaruh lain dari Naqsabandiyya dapat dilihat dalam praktek visualisasi rabitha, baik sebelum rnaupun sesudah dzikir dilaksanakan. Selain itu, jika Dzikir dalam tarekat Naqsabandiyya biasanya dipraktekkan secara samar dan dalam Qadiriyya diucapkan dengan suara yang keras maka Syeikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara drikir ini. Demikianlah Khatib Sambas menggabungkan dua tarekat yang berbeda sehingga Akhirnya Qadiriyya dan Naqsabandiyya pun mengambil tehnik spiritual utama dari dua aliran tarekat, Qadariyah dan Naqsabandiyya.

Untuk melihat lebih jauh ajaran Ahmad Khatib Sambas maka berikut akan dikemukakan sejumlah tema-tema penting yang terdapat di dalam kitab Fath al­Arifin, sebuah kitab yang diyakini ditulis oleh Syeikh Sambas sendiri. Kitab ini sangat besar pengaruhnya di kawasan dunia Melayu dan sekaligus menjadi pedoman bagi pengikut tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya di pelosok Nusantara. Adapun sejumlah tema yang diangkat oleh Syeikh Sambas dalam kitab ini antara lain ;

Prosedur Pembai’atan

Dalam prosesi pembai’atan seorang yang akan memasuki tarekat Qadariyah wa Naysabandiyya, seorang Syeikh harus membaca bacaan yang khusus bagi pengikut tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya. Dan diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qudiniyyu Qadiriyya wa Naqsabandiyya, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir a’-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi. Selanjutnya Syeikh berdo’a untuk murid tersebut dengan harapan semoga sang murid mendapatkan kemudahan.

Sepuluh Latha’if (sesuatu yang Halus)

Setelah menjelaskan prosedur dan tata cara pembai’atan terhadap seseorang yang ingin memasuki Tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, Syeikh Sambas kemudian menjelaskan bahwa manusia terdiri dari sepuluh Latha’if. Lima Lalha’it yang pertama disebut sebagai alam al-amr (alam perintah). Kelima Latu’if tersebut antara lain; Lathifa al-Qalbi (halus hati), Lathifa al-Ruh (halus ruh), Lathifa al-Sirr (halus rahasia), Lathifa al-Khafi (halus rahasia) dan Lathifa ul-Akhfa (halus yang paling tersembunyi). Sementara lima Latha’if seterusnya disebut sebagai ‘alum al-­khalq (alam ciptaan) yang meliputi; Lathifa al-Nafs dan al-’anaasir al-arba’a (unsur yang empat) yakni air, udara, api dan tanah. Selanjutnya Syeikh Sambas menentukan bahwa Lathifa al-Nafs bertempat di dalam dahi dan tempurung kepala.

Tata Cara Beramal

Setetelah menjelaskan sepuluh Latha’if, Syeikh Sambas melanjutkan dengan petunjuk tata cara beramal (baca: berzikir) sebagaimana berikut ;

أستغفرالله الغفور الرحيم. اللهم صـل على سيـدنا محمد و صحبه و سلم. لا إله إلا الله

Cara membaca kalimat la ilaaha illa Allah dimulai dari menarik nafas panjang sambil membaca “لا” dari pusat ke otak. Lalu membaca “إلـه” ke arah kanan kemudian dilanjutkan dengan kalimat إلا الله ke dalam hati seraya mengingat maknanya.

Kemudian membaca لا مقصود إلا الله sambil membayangkan wajah Syeikh di hadapannya jika Syeikhnya jauh dari pandangannya akan tetapi jika dekat maka tinggal menanti limpahan saja. Inilah yang disebut dengan dzikir Nafy wa Ithbat yang dapat dilakukan baik dengan nyaring (zhihar) atau di dalam hati (sirr).

Setelah selesai berzikir diteruskan dengan membaca solawat Munjiyat sebagaimana berikut :

اللهم صـل على سيـدنا محمد صلاة تنجينا بها من حميع الأهوال و الأفات (الخ)

Kemudian diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi sebagaimana halnya ketika melakukan pembai’atan.

Muraqabah

1. Muraqabah al-Ahadiyah

2. Murayabah al-Ma’iyah

3. Muruqabuh al-Aqrabiyah

4. Muraqabah al-Muhabbati fi Da’irat Ulu;

5. Muraqabah al-Muhabbati fi Da’irat Tsaniyah

6. Muruqabah al-Mahabbut fi Qawsi

7. Muraqabah wilayat al-’Uly

8. Muruqabah Kamalut Nubuwwah

9. Muraqabah Kamalat Risalah

10. Muraqaboh Kamalat Uli al-’Azm.

11. Muraqabah al-Mahabbat Da’irat Khullu

12. Muruqabah Da’iru, Mahabbat Syarfat Hiya Haqiqat Sayyidina Musa

13. Muraqabah al-Zatiyah al-Mumtazijah bi Mahabbat wa Hiya Haqiqat Muhammadiya

14. Muraqabah Mahbubiyat as-Syarfat wa Hiya Haqiqat Ahmadiyyah

15. Muraqabah Hubb al-Syirf

16. Muraqabah La Ta’ayyun

17. Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah

18. Muraqabah Haqiqat al-Qur’an

19. Muraqabah Haqiqat al-Sholat

20. Muraqabah Dairat Ma’budiyah al-Syirfa

PENYEBARAN TAREKAT QADIRIYYA WA NAQSABANDIYYA

Sepulang dari kota suci Mekkah, murid-murid Syeikh Sambas yang sebelumnya telah dibai’at oleh Syeikh Sambas kemudian menyebarkan Tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya ke daerah mereka masing-masing. Dari murid-muridnya inilah kemudian Tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya akhirnya tersebar luas di sejumlah daerah di Nusantara.

Diantara muridnya yang memiliki pengaruh adalah ‘Abd al­ Karim al-Banten. Ia lahir pada tahun 1840 di Lempuyang, satu daerah yang terletak di Tanara Jawa Barat. Ia berangkat ke Mekkah di usianya yang sangat Muda untuk menimba ilmu di sana. Setelah beberapa tahun berdomisili di kediaman Syeikh Sambas, ‘Abd al-karim Banten menerima ijaza sebagai anggota penuh tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiya dan di usianya yang masih muda belia ini ia lelah mendalami ajaran Syaeikh Sambas. Tugas pertama yang diembannya adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Pada Tahun 1872 ia pulang ke Lempuyang selama tiga tahun kemudian pada tahun 1876 kembali ke Mek’kah untuk mengemban tugas sebagai pengganti Syeikh Sambas. Sebagai tambahan, lima cabang tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya yang ada di pulau Jawa menisbatkan Silsila mereka kepada dirinya.

Wejangan ‘Abd al-Karim memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Banten. Ia memandang dibutuhkan pemurnian terhadap kepercayaan dan praktek beragama dengan mengedepankan zikir sebagai fokus revitalisasi iman. Di sejumlah tempat, zikir dilakukan baik di Masjid ataupun langgar, sementara pada haris-hari libur diselenggarakan zikir malam. Oleh kebanyakan orang, Abd Karim dipercaya sebagai seorang wali yang dapat memberikan berkah tertentu (barakat) serta memiliki kekuatan diluar kemampuan manusia (karamat). Belakangan ia lebih dikenal dengan nama Kiyai Agung.

Di antara murid-murid H. ‘Abd al-Karim yang termuka antara lain ; H. Sangadeli Kaloran, H. Asnawi Bendung Lempuyang, H. Abu Bakar Pontang, H. Tubagus Isma’il Gulatjir dan H. Marzuki Tanara. Dari semua muridnya ini yang paling terkenal adalah yang disebut paling akhir. Dimana, sepulang dari Mekkah H. Marzuki Tanara mendirikan pondok pesantren di tempat kelahirannya (Tanara). Di Tanara ia mengajar dari tahun 1877-1888. Dua ulama terkemuka Banten, Wasid dan Tubagus Isma’il sering berkonsultasi kepadanya tentang masalah agama dan masalah yang ditimbulkan oleh kolonialisme

Murid lain Syeikh Sambas adalah Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhamrnad Madura. Ketika Kyai Ahmad Hasbullah tinggal di Rejoso Jawa Timur, Khalil, putera tiri pendiri pondok pesantren Rejoso menerima ijaza darinya. Kemudian Khalil menyerahkan kepemimpinan kepada saudara tirinya, Romli bin Tamim dan diteruskan oleh Kiyai Musta’in Romli. Untuk sementara Kyai Musta’in Romli mendapatkan popularitas di antara pemimpin Nahdhatul Ulama, namun popularitasnya kemudian hilang akibat ia merubah afiliasi politiknya dari sebelumnya mendukung PPP (ketika itu diback up NU) kemudian mendukung Golkar.

Demikian sehingga tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya dapat tersebar di Nusantara berkat murid dari Syeikh Khatib Sambas yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa.